monitorberita.com Banjir bandang yang menerjang Aceh Tamiang meninggalkan kerusakan ekstrem. Wilayah itu menjadi salah satu yang terdampak paling parah. Selama lebih dari satu pekan, tidak ada bantuan yang berhasil masuk. Segala akses lumpuh total. Jalan terputus, jembatan hancur, dan sebagian besar wilayah terendam lumpur tebal.
Dalam kondisi darurat seperti itu, warga benar-benar mengandalkan kemampuan bertahan sendiri. Setiap hari dilalui dengan kekhawatiran akan makanan, kesehatan, dan keselamatan keluarga. Tidak ada tempat pelarian yang aman karena hampir seluruh lingkungan berubah menjadi kubangan air berwarna pekat.
Gelap Tanpa Listrik dan Harapan
Seluruh Kabupaten Aceh Tamiang terjebak dalam kegelapan. Listrik padam total. Tidak ada energi untuk penerangan, tidak ada listrik untuk mengisi baterai telepon atau alat komunikasi lainnya. Malam hari menjadi mencekam karena gelap ikut menyembunyikan bahaya.
Tanpa komunikasi, warga tidak dapat mengetahui kondisi di desa lain, juga tidak bisa meminta pertolongan. Mereka hidup dalam ketidakpastian. Setiap suara deras air bisa berarti ancaman gelombang banjir susulan.
Air Bersih Tidak Tersedia Sama Sekali
Dalam bencana, air adalah kebutuhan paling mendesak. Namun di Aceh Tamiang, air bersih justru menjadi barang langka. Air sungai berwarna cokelat gelap dan bercampur lumpur. Warga terpaksa mengandalkan apa pun yang bisa ditemukan. Banyak di antara mereka meminum air seadanya karena tidak ada pilihan lain.
Ketika air kotor menjadi satu-satunya sumber, risiko penyakit meningkat tajam. Anak-anak dan lansia sangat rentan. Kelangkaan air bersih juga membuat sanitasi buruk. Bau tidak sedap menyebar di mana-mana.
Aroma Bangkai Makin Kuat Setiap Hari
Banjir bandang membawa serta material hutan, puing bangunan, dan bangkai hewan. Arus besar menyeret ternak—sapi, kambing, ayam—hingga banyak ditemukan mati mengapung di genangan air.
Keadaan semakin mengerikan saat cuaca panas. Aroma busuk menyeruak dan membuat warga kesulitan bernapas. Bau tersebut menjadi tanda bahwa risiko penyakit menular semakin dekat. Sampah berserakan. Air tergenang tidak mengalir. Kondisi itu menciptakan lingkungan yang memicu wabah.
“Seperti Kota Zombie”
Seorang warga bernama Arif, dari Kampung Dalam, menggambarkan situasi tersebut dengan kalimat yang membuat bulu kuduk berdiri. Ia menyebut Aceh Tamiang seperti “kota zombie.”
Pilihan kata itu tidak berlebihan. Rumah-rumah hancur. Jalan menjadi mirip kubur massal puing banjir. Warga berjalan menyusuri kegelapan dengan wajah letih. Mata mereka memandang tanpa kepastian hari esok. Situasi mencekam ini membuat banyak orang kehilangan harapan.
Penjarahan Akibat Bertahan Hidup
Saat logistik bantuan belum datang, kebutuhan tetap harus dipenuhi. Sebagian warga memaksa mengambil apa pun yang bisa ditemukan dari toko yang rusak atau gudang terendam banjir. Penjarahan terjadi bukan karena kejahatan, tetapi karena naluri bertahan hidup.
Ketika kondisi ekstrem memaksa, batas antara benar dan salah menjadi kabur. Orang tua yang melihat anaknya kelaparan tentu akan melakukan apa pun untuk menyelamatkannya.
Bantuan Akhirnya Mencapai Lokasi
Setelah melalui perjalanan sulit, tim bantuan akhirnya berhasil memasuki Aceh Tamiang. Bantuan berupa makanan pokok, obat-obatan, dan air minum mulai dibagikan. Akses menuju lokasi tetap penuh rintangan, namun upaya penyelamatan tidak berhenti.
Tim relawan bekerja siang malam. Mereka harus menghadapi arus air yang masih tinggi, jalan licin, serta kondisi fisik warga yang mulai melemah. Bantuan yang masuk belum sebanding dengan jumlah kebutuhan, namun setidaknya memberikan sedikit cahaya di tengah gelapnya musibah.
Koordinasi Bencana Dilakukan Lintas Pemerintahan
Pemerintah daerah meminta dukungan penuh dari pemerintah pusat. Koordinasi dilakukan untuk mempercepat penanganan bencana di berbagai wilayah terdampak di Sumatera. Banyak kementerian terlibat, mulai dari sosial, kesehatan, hingga pekerjaan umum untuk membuka akses darat yang tertutup.
Meski demikian, upaya ini masih membutuhkan waktu. Infrastruktur yang rusak parah membuat mobilisasi bantuan tidak dapat dilakukan cepat seperti biasanya. Masyarakat di lapangan terus menunggu kepastian kapan kehidupan kembali normal.
Ketahanan Warga yang Luar Biasa
Walau situasi sangat berat, warga Aceh Tamiang menunjukkan keteguhan luar biasa. Mereka tetap saling membantu. Air kotor yang tersisa dibagi bersama. Makanan yang sedikit dibagi rata. Anak-anak ditentramkan, meski orang dewasa menahan ketakutan di dalam hati.
Bencana ini menjadi gambaran betapa rapuhnya kehidupan saat alam menunjukkan kekuatannya. Namun juga memperlihatkan bahwa solidaritas masih hidup di tengah kesulitan.
Harapan akan Pemulihan dan Perhatian Serius
Aceh Tamiang membutuhkan pemulihan jangka panjang. Tidak hanya perbaikan rumah dan fasilitas publik, tetapi juga dukungan psikologis bagi korban yang trauma. Peristiwa ini menjadi alarm keras bahwa mitigasi bencana harus diperkuat.
Musibah tidak dapat dihentikan, tetapi dampaknya dapat dikurangi. Hutan harus dijaga. Infrastruktur harus tangguh. Sistem peringatan dini harus ditingkatkan. Semua itu penting agar kejadian mengerikan ini tidak terulang.

Cek Juga Artikel Dari Platform marihidupsehat.web.id
