monitorberita.com Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, membuat pernyataan yang langsung memicu perhatian publik. Ia meminta tiga menteri dalam kabinet untuk melakukan taubat nasuha menyusul bencana banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera. Menurutnya, musibah itu harus menjadi momen evaluasi menyeluruh atas kebijakan pemerintah di bidang energi dan lingkungan.
Pernyataan tersebut bukan hanya kritik biasa. Cak Imin secara resmi mengirimkan surat kepada ketiga menteri terkait sebagai bagian dari tindak lanjut. Ia menekankan pentingnya refleksi nyata dari para pemegang kebijakan yang bersinggungan langsung dengan pengelolaan alam dan ruang hidup masyarakat.
Tiga Menteri yang Disurati
Dalam penjelasannya, Cak Imin menyebutkan tiga nama yang ia minta melakukan evaluasi diri:
- Bahlil Lahadalia — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
- Hanif Faisol — Menteri Lingkungan Hidup
- Raja Juli Antoni — Menteri Kehutanan
Ia mengajak ketiganya untuk duduk bersama mengevaluasi seluruh kebijakan, mulai dari regulasi sampai praktik di lapangan, agar kerusakan lingkungan tidak berulang dan korban masyarakat bisa diminimalkan.
Menurut Cak Imin, musibah yang terjadi menunjukkan ada sesuatu yang belum berjalan baik pada tata kelola sumber daya alam. Oleh karena itu, ia ingin pemerintah satu suara dalam menyusun langkah korektif.
Makna “Taubat Nasuha” dalam Konteks Pemerintahan
Istilah “taubat nasuha” yang dipilih Cak Imin menjadi pembicaraan publik karena bernada religius dan emosional. Frasa tersebut dianggap sebagai dorongan moral agar pemerintah tidak hanya menyalahkan cuaca ekstrem, tetapi berani mengakui kesalahan dalam kebijakan yang berdampak pada kerusakan alam.
Bagi sebagian pihak, pilihan kata itu terdengar menohok. Namun bagi pendukungnya, langkah itu dianggap tepat sebagai tanda keseriusan menghadapi krisis lingkungan yang semakin sering terjadi.
Bencana bukan hanya fenomena alam. Banyak pakar mengingatkan bahwa banjir bandang dan longsor yang berulang juga merupakan akibat dari aktivitas manusia, mulai dari pembalakan liar hingga tata ruang yang kacau.
Raja Juli: Lebih Penting Bersatu dalam Penanganan
Menanggapi ajakan itu, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mencoba meredam ketegangan. Ia menyatakan pentingnya sikap saling mendukung antarmenteri, bukan saling menyudutkan. Dalam pandangannya, fokus utama saat ini adalah penanganan warga terdampak dan pemulihan lingkungan.
Raja Juli menyebut, pemerintah harus tampil sebagai satu tim. Ia tidak ingin polemik politik justru memperlambat upaya penyelamatan di lapangan. Meski demikian, ia juga tidak menolak perlunya evaluasi, selama dilakukan dengan kompak dan objektif.
Baginya, bencana merupakan ujian keseriusan pemerintah dalam memperbaiki tata kelola hutan dan menjaga keselamatan masyarakat di kawasan rawan.
Bahlil Menantang untuk Evaluasi Menyeluruh
Berbeda dengan nada Raja Juli yang menenangkan suasana, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menanggapi pernyataan itu dengan gaya lebih menantang. Ia meminta agar evaluasi dilakukan bersama, tidak hanya menyasar sektor energi.
Menurut Bahlil, kerusakan alam bisa berasal dari berbagai faktor. Ia menyebut bahwa sektor kehutanan, pertambangan, tata ruang, dan bahkan perencanaan pembangunan daerah semuanya punya kontribusi dalam menentukan kondisi lingkungan.
Karena itu, jika ada ajakan taubat atau evaluasi, seluruh kementerian yang terlibat dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam harus ikut. Bahlil ingin evaluasi yang adil, bukan menyalahkan satu sektor saja.
Polemik yang Menyentuh Kritik Masyarakat
Pernyataan Cak Imin sesungguhnya mencerminkan suara publik. Banyak warga terdampak bencana menganggap bahwa hilangnya fungsi hutan dan rusaknya daerah aliran sungai berkontribusi besar terhadap banjir bandang. Mereka menyoroti izin-izin pembukaan lahan yang dianggap terlalu longgar.
Dalam beberapa kasus, tumpukan kayu gelondongan yang hanyut dalam banjir memperkuat dugaan bahwa ada aktivitas ilegal yang luput dari pengawasan. Akibatnya, bencana menjadi lebih mematikan.
Di titik ini, ketiga menteri memang berada di posisi yang paling sering disorot masyarakat.
Evaluasi Kebijakan Jadi Kebutuhan Mendesak
Di tengah perdebatan politik, satu hal tetap jelas: masyarakat membutuhkan perbaikan nyata. Evaluasi kebijakan lingkungan bukan hanya kewajiban moral, tetapi kebutuhan strategis untuk mencegah bencana berikutnya.
Jika persoalan dibiarkan, korban bisa terus bertambah setiap tahun. Rehabilitasi hutan, penegakan hukum tegas terhadap pelanggaran lingkungan, serta tata ruang berbasis mitigasi risiko menjadi prioritas yang tidak bisa ditunda.
Kesimpulan: Jangan Hanya Bicara, Saatnya Bergerak
Ajakan taubat dari Cak Imin telah membuka diskusi yang lebih luas tentang tanggung jawab dan kolaborasi pemerintah dalam menjaga alam. Respons Raja Juli dan Bahlil menunjukkan bahwa pembenahan harus dilakukan secara menyeluruh, bukan sektoral.
Kini, masyarakat menanti aksi nyata.
Bukan hanya surat, bukan hanya pernyataan publik — tetapi langkah konkret dalam mengurangi potensi bencana.
Polemik ini seharusnya tidak berhenti pada adu kata, melainkan menjadi momentum bagi reformasi kebijakan lingkungan demi keselamatan rakyat.

Cek Juga Artikel Dari Platform baliutama.web.id
